Entri Populer

Kamis, 27 Januari 2011

DAMPAK KORUPSI TERHADAP PEREKONOMIAN INDONESIA

KATA PENGANTAR
Syukur saya ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan waktu, kesempatan dan pemikiran yang jernih penulis untuk menyelesaikan makalah yang berjudul “ dampak korupsi terhadap perekonomian indonesia”.
Sebagaimana upaya peningkatan kualitas yang tidak akan pernah selesai, demikian pula makalah ini nantinya akan memerlukan revisi berdasarkan kritik maupun saran dari para pembaca makalah ini.
Untuk itu, saya harapkan kritik dan saran yang membangun dari para pembaca khususnya dari bapak Dr. Djuhari Simamora, M.Pd selaku dosen pengasuh mata kuliah perekonomian Indonesia. Semoga makalah ini dapat memperluas wawasan para pembaca. Terima kasih,


Padangsidimpuan, Januari 2011


Penulis,






DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I. PENDAHULUAN :
A. Latar Belakang
BAB II. PEMBAHASAN :
A. Pengertian Korupsi
B. Korupsi Dalam Sudut Pandang Ekonomi
C. Hubungan-hubungan Korupsi dan Ekonomi Menurut Ahli
D. Dampak Korupsi Terhadap Perekonomian di Indonesia
BAB III. PENUTUP :
A. Kesimpulan dan Solusi
DAFTAR PUSTAKA








DAFTAR PUSTAKA
Yulianti, Sri Handaru. 1993. Perekonomian Internasional. Yogyakarta : Penerbit Andi
Sukwiaty, dkk. 2003. Ekonomi 1 Kelas 1 SMA. Bandung : Yudhistira
http://bisnis.vivanews.com/news/read/104915-bahaya_korupsi_bagi_perekonomian
Robie’ Kholilurrahman, SMAN 34 Jakarta, Mabit NF Rombongan A.
Jakarta, 20-02-’10 / 03.00 PM.

















BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Korupsi menurut Undang-undang didefinisikan sebagai: “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.” Atau, “Setiap orang yang dengan sengaja menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.” Secara sederhana penulis bisa simpulkan beberapa poin penting tentang korupsi.
1. Pelakunya adalah perseorangan.
2. Tindakannya melawan hukum.
3. Memberikan keuntungan tidak harus untuk diri pribadinya, tetapi bisa juga untuk perseorangan lain atau sebuah korporasi.
4. Merugikan keuangan atau perekonomian negara.
5. Menyalahgunakan apa-apa yang diamanahkan kepadanya.
Yang penulis ingin angkat di sini adalah dampak-dampak laten dari korupsi, lebih sempitnya adalah yang berkaitan dengan aspek-aspek keekonomian. Dampak manifesnya sendiri sudah terlalu ‘manifes’ sehingga bisa dibaca dan diketahui secara bebas di mana-mana. Adapun dampak latennya, terutama terhadap perekonomian, menurut penulis masih merupakan pembahasan yang sepi. Membahas hal ini lebih jamak dan lebih dalam tentunya adalah kontribusi positif terhadap kampanye pemberantasan dan pencerabutan akar-akar korupsi terutama di Indonesia. Tentunya disertai masukan-masukan positif, baik yang berwujud saran halus ataupun kritik pedas, baik yang menggunakan bahasa educated ataupun yang menggunakan bahasa grass root, baik yang konseptual ataupun yang praktis. Di sini penulis berusaha sekadar menjamakkan pembahasan tentang hal ini, dan menyertai solusi sekenanya.

BAB II
PEMBAHASAN

E. Pengertian Korupsi
Korupsi (bahasa Latin: corruptio dari kata kerja corrumpere yang bermakna busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok). Secara harfiah, korupsi adalah perilaku pejabat publik, baik politikus|politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka.
Dari sudut pandang hukum, tindak pidana korupsi secara garis besar mencakup unsur-unsur sebagai berikut:
• perbuatan melawan hukum;
• penyalahgunaan kewenangan, kesempatan, atau sarana;
• memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi;
• merugikan keuangan negara atau perekonomian negara;
Selain itu terdapat beberapa jenis tindak pidana korupsi yang lain, di antaranya:
• memberi atau menerima hadiah atau janji (penyuapan);
• penggelapan dalam jabatan;
• pemerasan dalam jabatan;
• ikut serta dalam pengadaan (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara);
• menerima gratifikasi (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara).
Dalam arti yang luas, korupsi atau korupsi politis adalah penyalahgunaan jabatan resmi untuk keuntungan pribadi. Semua bentuk pemerintah|pemerintahan rentan korupsi dalam prakteknya. Beratnya korupsi berbeda-beda, dari yang paling ringan dalam bentuk penggunaan pengaruh dan dukungan untuk memberi dan menerima pertolongan, sampai dengan korupsi berat yang diresmikan, dan sebagainya. Titik ujung korupsi adalah kleptokrasi, yang arti harafiahnya pemerintahan oleh para pencuri, dimana pura-pura bertindak jujur pun tidak ada sama sekali.
Korupsi yang muncul di bidang politik dan birokrasi bisa berbentuk sepele atau berat, terorganisasi atau tidak. Walau korupsi sering memudahkan kegiatan kriminal seperti penjualan narkotika, pencucian uang, dan prostitusi, korupsi itu sendiri tidak terbatas dalam hal-hal ini saja. Untuk mempelajari masalah ini dan membuat solusinya, sangat penting untuk membedakan antara korupsi dan kriminalitas|kejahatan.
Tergantung dari negaranya atau wilayah hukumnya, ada perbedaan antara yang dianggap korupsi atau tidak. Sebagai contoh, pendanaan partai politik ada yang legal di satu tempat namun ada juga yang tidak legal di tempat lain.
F. Korupsi Dalam Sudut Pandang Ekonomi
Korupsi sendiri menurut sudut pandang ekonomi disebut sebagai the misuse of public office for private gain. Sedangkan, beban yang ditanggung pelaku-pelaku ekonomi akibat korupsi disebut high cost economy. Dari istilah pertama di atas, terlihat bahwa potensi korupsi membesar di negara-negara yag menerapkan kontrol pemerintah secara ketat dalam praktek perekonomian, alias memiliki monopoly power yang besar. Karena yang disalahgunakan di sini adalah perangkat-perangkat publik atau pemerintahan dan yang diuntungkan adalah kepentingan-kepentingan yang bersifat pribadi.
Hal ini menunjukkan kekeliruan kebanyakan negara-negara berkembang yang latah mencontoh negara-negara kapitalis dalam hal pembukaan keran investasi asing secara longgar, namun dalam prakteknya justru terlalu banyak diatur oleh pemerintah dan bukannya melalui pencerdasan masyarakat terlebih dahulu sehingga bisa mendorong mereka sendirilah yang akan mengembangkan kerjasama dengan pihak asing. Padahal kemampuan dan kredibilitas moral pemerintah mereka sendiri belum cukup baik. Pada akhirnya, muncul high cost economy. Contoh simpelnya adalah birokrasi, di mana aspek ini adalah sumber terbesar dan paling rata persebarannya di seantero negeri terhadap praktek korupsi.
Di mana-mana tampak birokrasi menghadang sebagai momok, baik dalam hal administrasi kependudukan ataupun hal-hal yang berkaitan dengan administrasi usaha. Bahkan, sebuah sumber di internet menyebutkan bahwa gelembung biaya birokrasi yang tidak perlu ini menyedot sampai sekitar 20% dari anggaran pelaku usaha-usaha kecil, menurut statistik. Tentunya di sisi lain hal ini sangat menghambat perkembangan UKM-UKM, padahal UKM kita tahu adalah salahsatu tiang penyangga stabilitas ekonomi makro di Indonesia berhubung kemampuannya untuk menyerap tenaga kerja secara masif.
G. Hubungan-hubungan Korupsi dan Ekonomi Menurut Ahli
Menurut Mauro (Corruption and Growth, 1995), korupsi memiliki korelasi negatif dengan tingkat investasi, pertumbuhan ekonomi, dan pengeluaran pemerintah untuk program sosial dan kesejahteraan. Hal-hal ini merupakan bagian dari inti ekonomi makro, dan kenyataan bahwa korupsi memiliki hubungan langsung dengan hal-hal ini, mendorong pemerintah untuk menanggulangi korupsi, baik secara preventif maupun kuratif. Ada pula pernyataan dari Dieter Frish bahwa meningkatnya korupsi juga meningkatkan biaya barang dan jasa, yang kemudian bisa melonjakkan utang negara.
Pada keadaan ini, inefisiensi terjadi. Yaitu ketika pemerintah mengeluarkan lebih banyak kebijakan namun disertai dengan maraknya praktek korupsi, bukannya memberikan nilai positif misalnya kesemakinteraturan, naumun justru memberikan negative value added bagi perekonomian secara umum. Misalnya, anggaran korporasi-korporasi yang lebih baik diputar dalam siklus ekonomi, justru terbuang untuk birokrasi yang ujung-ujungnya masuk ke kantong pribadi pejabat.
H. Dampak Korupsi Terhadap Perekonomian di Indonesia
Korupsi juga mempersulit pembangunan ekonomi dengan membuat distorsi dan ketidak efisienan yang tinggi. Dalam sektor privat, korupsi meningkatkan ongkos niaga karena kerugian dari pembayaran ilegal, ongkos manajemen dalam negosiasi dengan pejabat korup, dan risiko pembatalan perjanjian atau karena penyelidikan. Walaupun ada yang menyatakan bahwa korupsi mengurangi ongkos (niaga) dengan mempermudah birokrasi, konsensus yang baru muncul berkesimpulan bahwa ketersediaan sogokan menyebabkan pejabat untuk membuat aturan-aturan baru dan hambatan baru. Dimana korupsi menyebabkan inflasi ongkos niaga, korupsi juga mengacaukan "lapangan perniagaan". Perusahaan yang memiliki koneksi dilindungi dari persaingan dan sebagai hasilnya mempertahankan perusahaan-perusahaan yang tidak efisien.
Korupsi menimbulkan distorsi (kekacauan) di dalam sektor publik dengan mengalihkan investasi publik ke proyek-proyek masyarakat yang mana sogokan dan upah tersedia lebih banyak. Pejabat mungkin menambah kompleksitas proyek masyarakat untuk menyembunyikan praktek korupsi, yang akhirnya menghasilkan lebih banyak kekacauan. Korupsi juga mengurangi pemenuhan syarat-syarat keamanan bangunan, lingkungan hidup, atau aturan-aturan lain. Korupsi juga mengurangi kualitas pelayanan pemerintahan dan infrastruktur; dan menambahkan tekanan-tekanan terhadap anggaran pemerintah.
Para pakar ekonomi memberikan pendapat bahwa salah satu faktor keterbelakangan pembangunan ekonomi di Afrika dan Asia, terutama di Afrika, adalah korupsi yang berbentuk penagihan sewa yang menyebabkan perpindahan penanaman modal (capital investment) ke luar negeri, bukannya diinvestasikan ke dalam negeri (maka adanya ejekan yang sering benar bahwa ada diktator Afrika yang memiliki rekening bank di Swiss). Berbeda sekali dengan diktator Asia, seperti Soeharto yang sering mengambil satu potongan dari semuanya (meminta sogok), namun lebih memberikan kondisi untuk pembangunan, melalui investasi infrastruktur, ketertiban hukum, dan lain-lain. Pakar dari Universitas Massachussetts memperkirakan dari tahun 1970 sampai 1996, pelarian modal dari 30 negara sub-Sahara berjumlah US $187 triliun, melebihi dari jumlah utang luar negeri mereka sendiri. (Hasilnya, dalam artian pembangunan (atau kurangnya pembangunan) telah dibuatkan modelnya dalam satu teori oleh ekonomis Mancur Olson). Dalam kasus Afrika, salah satu faktornya adalah ketidak-stabilan politik, dan juga kenyataan bahwa pemerintahan baru sering menyegel aset-aset pemerintah lama yang sering didapat dari korupsi. Ini memberi dorongan bagi para pejabat untuk menumpuk kekayaan mereka di luar negeri, di luar jangkauan dari ekspropriasi di masa depan.
Indonesia yang dikenal sebagai salah satu negara dengan tingkat korupsi tinggi, memang sering mendapat sorotan soal kebocoran anggaran negara. Pada masa Orde Baru, korupsi tak banyak terungkap karena penguasa tertutup dan meredam kasus-kasus korupsi.
Pada era reformasi, sistem pemerintah lebih transparan sehingga banyak kasus korupsi terbongkar. Bahkan, kasus korupsi terungkap bukan hanya di pemerintah pusat, tetapi banyak terjadi di daerah seiring dengan diberlakukannya desentralisasi anggaran. Banyak pejabat daerah menjadi tersangka kasus korupsi APBD.
Walaupun demikian, tidak berarti ada perbaikan penanganan korupsi di Indonesia. Tengok saja posisi peringkat korupsi Indonesia versi CPI (Corruption Perception Index) yang dirilis oleh Transparency International (TI). Jika dilihat secara time series sejak tahun 2001 hingga 2008, dapat diketahui bahwa pasca reformasi, penanganan kejahatan korupsi di Indonesia semakin membaik.
Posisi Indonesia membaik dari peringkat 140 pada 2005 terus meningkat ke posisi 126 pada 2008. Meski ada perbaikan, dalam soal korupsi Indonesia masih sejajar dengan Eritrea, Ethiopia, Guyana, Honduras, Libya, Mozambique dan Uganda dalam pemberantasan korupsi.
Tahun Peringkat Negara Yang disurvei
2001 88 91
2002 96 102
2003 122 133
2004 137 146
2005 140 159
2006 130 163
2007 143 180
2008 126 180
Masalah korupsi di Indonesia sangat erat terkait dengan masalah birokrasi, buruknya penerapaan good governance, serta buruknya moral pelaku bisnis dan pejabat negara. Oligarki, atau tingkat kompetisi politik, yang terjadi di negara ini, masih relatif rendah, sehingga korupsi relatif lebih sulit untuk diberantas. Sebab kompetisi politik yang tinggi dapat menurunkan insentif dalam melakukan korupsi.
Ke depan, perlu langkah perbaikan lebih baik untuk mengatasi masalah korupsi ini, tidak hanya pada tahap instrumen perundangan yang mengikat pelaku, namun juga perbaikan moral pejabat negara, birokrasi dan good governance. Perbaikan ini diharapkan dapat menurunkan rent seeking bagi para pelaku korupsi.
Selain itu, kontrol sosial seperti media, laporan studi, indeks korupsi, maupun media yang mengangkat kasus-kasus korupsi diharapkan dapat mengurangi tindakan korupsi.














BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan dan Solusi
Indonesia seharusnya miris, sebagai negara timur yang mengaku mengedepankan moral, justru korupsinya termasuk tingakt tinggi. Sebagai negara berpenduduk muslim terbanyak yang mengaku taat, justru pemimpin-pemimpinnya tidak bisa memberikan contoh yang baik bagi rakyatnya.
Di Indonesia, kita telah melihat dengan jelas korelasi antara tingkat korupsi dan kondisi ekonomi. Pada orde baru silam, transparansi birokrasi sangat butuk, bahkan cenderung otoriter. Pada masa ini KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) tumbuh sumur bak cendawan di musim hujan. Berhubungan, kemajuan ekonomi yang dilansir pemerintah pun nyatanya hanyalah gelebung semu, yang akhirnya meletus menjadi krisis pada akhir tahun ’90-an. Dan memasuki era transisi menuju negara demokrasi, di mana reformasi dielu-elukan, transparansi penyelenggaraan negara sangat dipentingkan. Semua skandal berusaha dibuka, semua kasus diangkat ke media. Pemerintah mulai sangat sadar akan bahaya korupsi yang telanjur mendarah daging. Dibentuklah KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), Satgas Mafia Hukum, dan badan-badan otonom produk pemerintah lain yang bertujuan sama, memerangi korupsi. Di samping itu, juga terlihat bangkitnya kesadaran publik untuk melakukan kampanye anti korupsi mulai dari tiap individu, di mana-mana. Segala kasus dibongkar, tidak tebang pilih, bahkan besan presiden pun tak bisa mengelak.
Kita melihat efek tak langsung dari perjuangan memerangi korupsi ini. Pertumbuhan ekonomi Indonesia mengundang pujian dari negara-negara lain, stabilitas politik terbentuk, kerja sama dengan investor asing yang semakin erat terjalin, bangkitnya UKM dan layanan-layanan ekonomi syariah, dan fakta-fakta lain tak bias dipungkiri merupakan efek domino dari terselenggaranya praktek good and clean governance yang di anataranya adalah pembersihan dari KKN. Bahkan, di krisis global terakhir, Indonesia menjadi satu dari tiga negara yang tetap bisa mencatatkan pertumbuhan ekonomi positif bersama China dan India.
Namun, bagaimanapun, korupsi, mafia hukum, masalah birokrasi yang ruwet, dan lain-lain, belum benear-benar hilang dari realita Indonesia. Untuk itu pemerintah musti terus bekerja extra keras untuk mencabut akar-akar korupsi di negeri ini. Di antaranya dengan: 1) Lebih mengakomodir suara publik dalam penentuan kebijakan. Hal ini penting karena masyarakat kini telah cerdas dan kuat. Sebaiknya jangan terlalu menerapkan kebijakan represif lagi karena hal-hal seperti itu sudah tidak relevan dengan perkembangan informasi dan komunikasi zaman ini.biarkan sektor swasta mengembangkan kemandirian dan kreativitasnya, tentunya dalam batas yang disediakan Undang-undang. Seperti bunyi UUd ’45 pasal 33 ayat 1 yang secara garis besar menyatakan bahwa sektor-sektor yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak dikelola oleh negara. Ini berarti, di luar semua itu, swasta bebas dan sepantasnya dibebaskan bekerja sendiri. 2) Memangkas birokrasi. Birokrasi Indonesia adalah warisan penjajah Belanda. Hal ini sangat buruk, biayanya sangat tinggi. Sepantasnya oemerintah merubah mindset dan garis besar kebijakan untuk memperlonggar birokrasi di Indonesia sehingga anggaran masyarakat dan korporasi-korporasi pun bisa lebih banyak diputar di pasar daripada di kantor-kantor administrasi. Juga investor akan lebih merasa tenang untuk menanamkan modalnya di Indonesia, mengingat tidak banyak lagi biaya yang harus mereka kalkulasi jika masih ada birokrasi ruwet seperti sekarang. Sebagai contoh, SIN (Single Identity Number) yang diterapkan negara tetangga, Singapura, patut dipelajari dan diadaptasikan untuk diterapkan di Indonesia. 3) Meneruskan praktek transparansi pemerintahan.sebaiknya pemerintah kini mulai mengembangkan penyaluran informasi berbasis internet, dan membuka apa-apa yang sebanarnya memang tidak pantas untuk ditutup-tutupi. Hal ini mendorong makin kuatnya kntrol publik sehingga para pejabat nakal akan berpikir sekali lagi untuk melakukan penggelapan-penggelapan asset negara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar